Cape Belajar Bisnis Online Sendiri

Senin, 16 Juni 2014

Ngeri, 93 Persen Pelajar Nonton Film Porno



Semua akses informasi mudah didapat, baik melalui handphone hingga internet yang ada di setiap penyewaan warnet. Ini merupakan bukti sifat anak-anak muda saat ini yang ingin bebas dalam mengekspresikan keinginannya tidak memedulikan hal-hal yang telah membudaya di kalangan masyarakat timur (Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan)


Sebanyak 93 persen pelajar kelas VII SMP Negeri 5 Purwokerto, Jawa Tengah, mengaku pernah menonton film dewasa. Bahkan, sebagian mengaku menonton berkali-kali melalui telepon genggam (handphone) secara beramai-ramai.

Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda, mengatakan, sangat menyesalkan kejadian tersebut. Fakta yang mengejutkan itu terungkap saat 238 siswa kelas VII (kelas I SMP) menjalani semi-hypnoterapi. Sebanyak 256 siswa di antaranya yang mengaku pernah menonton film porno.

Menurutnya, sebagian generasi muda belum siap menerima perkembangan teknologi dari internet dan handphone. Di berbagai media, baik cetak maupun elektronik, tayangan dan gambar yang mengandung unsur pornografi 'bergentayangan' tak kenal lelah menghantui anak-anak.

Untuk itu, Erlinda berharap para orangtua mengawasi anak-anaknya saat mengakses dunia maya maupun berbagai media lainnya. “Bila perlu dampingi dan arahkan anak saat menonton televisi, bermain internet, atau memilih bacaan. Lebih baik lagi, orangtua membina hubungan dan menjalin komunikasi dengan anak, sehingga bisa membentengi mereka dari pengaruh buruk pornografi,” kata Erlinda kepada Harian Terbit, kemarin.

Erlinda menjelaskan, orangtua sangat dibutuhkan untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya, karena berperan penting membentuk karakter anak di masa mendatang. ''Sudah saatnya keluarga kembali mengambil peran untuk tanggung jawab terhadap anak-anak mereka," jelas Erlinda.

Sementara itu, pengamat pendidikan, Darmaningtyas, mensinyalir, kenakalan-kenakalan para pelajar ibarat fenomena gunung es. Dengan kata lain, fakta di SMPN 5 Purwokerto hanya sebagian kecil dari seluruh kasus kenakalan remaja yang belum terungkap.

Menurut Darma, penyebab maraknya pornografi di kalangan pelajar dikarenakan fasilitas dan akses mendapatkan pornografi saat ini sangat mudah. Apalagi, jaringan internet melalui telepon seluler yang dipegang anak-anak bisa diakses dengan mudah. Selain itu, pengaruh globalisasi yang membuat pergaulan anak-anak lebih bebas dalam mengekspresikan keinginannya, tanpa mempertimbangkan budaya ketimuran.

“Semua akses informasi mudah didapat, baik melalui handphone hingga internet yang ada di setiap penyewaan warnet. Ini merupakan bukti sifat anak-anak muda saat ini yang ingin bebas dalam mengekspresikan keinginannya tidak memedulikan hal-hal yang telah membudaya di kalangan masyarakat timur,” kata Darma.

Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat pada 2012 terdapat 2.509 laporan kekerasan dan 59 persennya adalah kekerasan seksual. Pada 2013 hingga kini, Komnas PA menerima 2.637 laporan di mana 62 persennya berupa kekerasan seksual.  

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, pelecehan seksual terhadap anak dapat mengakibatkan dampak negatif jangka pendek dan jangka panjang, termasuk penyakit psikologis.

Dampak psikologis, emosional, fisik, dan sosial, bahkan yang lebih mengerikan yaitu siklus paedofil, abused-abuser cycle yaitu berasal dari korban (abused) pelecehan seksual pada masa kecil, lalu tumbuh dewasa menjadi orang yang memakan korban (aboser).  

“Karena itu, pornografi merupakan salah satu sumber yang menjadi pemicu munculnya paedofil, masalah pornografi atau pornoaksi setua umur manusia. Namun permasalahan ini semakin akut ketika pornografi dan pornoaksi dianggap biasa saja bahkan dijadikan sebagai budaya,” katanya.

Sumber: Hendro, harianterbit.com, Jumat 30 Mei 2014

Entri Populer